Tuesday, 24 January 2012

MENGHITUNG DAN MENGUKUR ARAH KIBLAT

A.       Dasar Hukum
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Hal ini didasarkan atas firman Allah SWT.
فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيثما كنتم فولوا وجوهكم شطره (البقره 144)
Artinya :
Maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram, dan di namapun kamu berada hadapkanlah mukamu ke arahnya.
Menghadap kiblat juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana hadits yang diceritakan oleh Barra’ sebagai berikut:
صلينا مع النبى ص.م. ستة عشر شهرا أوسبعة عشر شهرا نحو بيت المقدس ثم صرفنانحو الكعبة (متفق عليه$29
Artinya :
Kami Shalat bersama Nabi SAW. 16 atau 17 bulan menghadap Baitul Maqdis, kemudian dialihkan kepada Ka’bah. (H.R. Bukhari Muslim)
Bagi orang yang dekat dengan masjidil haram, maka menghadap dapat diartikan langsung mengarahkan muka dan seluruh tubuh ke Ka’bah. Namun bagi orang yang jauh dari masjidil haram, dan ini merupakan bagian terbesar dari umat islam, maka harus berusaha untuk menemukan arah yang tepat untuk menghadapkan muka ke ka’bah. Dalam batas-batas tertentu nabi memberikan kelonggaran umat tidak menghadap secara sempurnta ke arahnya, sebagaimana sabdanya
مابين المشرق والمغرب قبلة (رواه ابن ماجه والترمدى)
Artinya
Apa yang terletak di antara timur dan barat itulah kiblat.
Sebagimana diketahui bahwa ketika perintah menghadap kiblat itu turun, Nabi berada di kota Madinah yang menurut posisi geografisnya berada di sebelah utara kota Makkah. Sehingga Nabi harus menghadap ke arah selatan. Dalam hal ini karena belum di kenal system koordinat geografis yang akurat, maka Nabi membri petunjuk bahwa kibalt itu antra timur dan barat (selatan). Tetapi kalau memungkinkan untuk mengusahakannya, maka seharusnya kita berusaha untuk lebih bersungguh-sungguh mencari arah kiblat yang sebenarnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat memungkinkan untuk menemukan arah kiblat dengan hasil yang lebih akurat. Kerena itu sebagigan dari berijtihad dalam agama, mempelajari system penghitungan dan pengukuran arah kiblat serta berusaha untuk menerapkannya barangkali merupakan salah satu bagian daripadanya.
B.       Menghitung Arah Kiblat
Sebelum menghitung arah kiblat, kita memerlukan data tentang posisi geografis dari kota Makkah dan tempat dimana kita akan mengukur arah kiblat tersebut. Posisi geografis kota Makkah menurut penelitian dari H. Sa’adoeddin Djambek adalah 210 25’ LU 390 BT. Sedangkan posisi geografis dari tempat yang akan kita ukur dapat diperoleh melalui berbagai cara sebagaimana disebutkan di atas. Untuk data posisi geografis kota-kota besar di Indonesia dapat dilihat pada data-data yang telah di rangkum dalam sebuah buku.
1.      Rumus-Rumus Penghitungan Arah Kiblat
Setelah kita mengetaui data bujur dan lintang tempat pada kedua lokasi tersebut, selanjutnya bisa kita hitung dengan menggunakan rumus-rumus matematis yang ada, antara lain:
a.       Rumus persamaan Segitiga Bola dengan lokasi peninjau di sebelah utara garis katulistiwa (lintang utara). Dalam pengukuran ini titik 00 adalah titik utara, dan bila hasilnya positif berarti kearah timur (searah jarum jam), sedangkan bila hasilnya negative berarti ke arah barat (berlawanan arah jarum jam).
 b.  Rumus persamaan Segitiga Bola dengan lokasi peninjauan di sebelah selatan garis katulistiwa (lintang selatan). Dalam pengukuran ini titik 00 adalah titik utara, dan bila hasilnya positif berarti ke arah timur (searah jarum jam), sedangkan bila hasilnya negative berarti ke arah barat (berlawanan arah jarum jam).
 
c.  Rumus menggunakan Azimut Kiblat dengan penyederhanaan data. Penyederhanaan data dimaksud adalah dengan menggunakan matematis tertentu, sebagai berikut;

           Diagram Segitiga Bola Arah Qiblat






d.       Rumus menghitung Arah Kiblat khusus bagi kota-kota di sebelah timur Makkah. Rumus ini langsung menghitung besar sudut arah kiblat, dimana titik nol adalah arah barat ke utara.


0 comments:

Post a Comment

Kritik dan saran untuk kebaikan dan penyempurnaan