A. Pengertian Ilmu Falak
Menurut
bahasa, falak mempunyai arti orbit atau lintasan benda-benda langit (madar al-nujum)[1]. Dengan demikian, ilmu falak adalah
ilmu yang mempelajari tentang lintasan benda-benda langit, di antaranya Bumi,
Bulan dan Matahari. Mereka berjalan sesuai orbitnya masing-masing, dengan
tujuan untuk mengetahui posisi benda-benda langit antara satu dengan yang lain.
Ilmu
ini juga disebut ilmu Rashd karena memerlukan observasi (pengamatan).
Menurut Howard R. Turner, oleh kaum muslim abad pertengahan disebut ilmu
Miiqat, sains penentu waktu, juga dikenal sebagai sains mengenai
waktu-waktu tertentu, diterapkan melalui pengamatan langsung dan menggunakan
alat serta melalui perhitungan matematis dalam rangka menentukan waktu shalat
lima waktu, matahari tenggelam, malam, fajar, lewat tengah malam, dan sore. [2]
Ilmu
Falak di kalangan umat Islam juga dikenal dengan sebutan ilmu hisab, sebab
kegiatan yang paling menonjol pada ilmu tersebut adalah melakukan
“perhitungan-perhitungan.” Namun demikian menurut penulis, karena dalam ilmu
Falak pada dasarnya menggunakan dua pendekatan “kerja ilmiah” dalam mengetahui waktu-waktu ibadahnya dan
posisinya, yakni pendekatan hisab (perhitungan) dan pendekatan rukyah (observasi)
benda-benda langit, maka idealnya penamaan ilmu falak ditinjau dari “kerja
Ilmiah”nya, disebut ilmu hisab rukyah, tidak disebut ilmu hisab (saja).
Ilmu Falak juga dapat disebut ilmu astronomi, karena di
dalamnya membahas tentang Bumi dan Antariksa (Kosmografi),
perhitungan-perhitungan dalam ilmu Falak berkaitan dengan benda-benda langit,
walaupun hanya sebagian kecil saja, dari benda-benda langit yang menjadi objek
perhitungan. Karena
secara etimologis, astronomi berarti
peraturan bintang "law of the stars". Sebagaimana dikemukakan oleh Robert H. Baker bahwa :
“Astronomy
the science of the stars, is concerned not morely with the star, but with all
the celestial bodies with together comprise, the known physical universe. It
deals with planets and their satellites, including the earth, of course wit
comets and meteor, with stars and the instellar material, with stars clusters,
the system of the milky way, and the other systems which lie beyond the milky
way”.[3]
|
Benda langit yang dipelajari oleh umat Islam untuk keperluan
praktek ibadah adalah matahari dan bumi dalam tinjauan posisi-posisinya sebagai
dampak pada gerakannya (Astromekanika). Hal ini disebabkan karena
perintah-perintah ibadah dalam waktu dan cara pelaksanaannya hanya
melibatkan posisi benda-benda langit
tersebut.
B. Ruang
Lingkup Pembahasan
Ilmu
Falak pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, macam yaitu :
1. Theoritical astronomy, yaitu ilmu yang membahas teori dan
konsep benda-benda langit[4] yang meliputi:
a. Cosmogoni yaitu teori tentang asal usul benda-benda
langit dan alam semesta.
b. Cosmologi yaitu cabang astrologi yang
menyelidiki asal-usul struktur dan hubungan ruang waktu dari alam semesta.
c. Cosmografi yaitu pengetahuan tentang seluruh
susunan alam, penggambaran umum tentang jagad raya termasuk Bumi.
d. Astrometrik yaitu cabang astronomi yang
kegiatannya melakukan pengukuran terhadap benda-benda langit dengan tujuan
mengetahui ukurannya dan jarak antara satu dengan lainnya.
e. Astromekanik yaitu cabang astronomi yang
mempelajari gerak dan gaya tarik benda-benda langit dengan cara dan hukum
mekanik.
f. Astrofisika yaitu bagian astronomi tentang
benda-benda angkasa dari sudut ilmu alam dan ilmu kimia.
2. Theoritical astronomy yaitu ilmu
yang melakukan perhitungan untuk mengetahui posisi dan kedudukan benda-benda
langit antara satu dengan yang lain. Inilah yang kemudian dikenal dengan ilmu
Falak atau ilmu Hisab Rukyah.
Pokok bahasan dalam
ilmu Falak adalah penentuan waktu dan posisi benda langit (matahari dan bulan)
yang diasumsikan memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan ibadah (hablum mina Allah). Sehingga pada dasarnya pokok bahasan ilmu
Falak adalah berkisar pada:
a. Penentuan arah
kiblat dan bayangan arah kiblat
b. Penentuan waktu
sholat
c. Penentuan awal
Bulan ( khususnya bulan Qamariyah )
Ilmu falak yang membahas penentuan arah kiblat pada
dasarnya adalah menghitung berapa besar sudut yang diapit oleh garis meridian
yang melewati suatu tempat yang dihitung arah kiblatnya dengan lingkaran besar
yang melewati tempat yang bersangkutan dan ka’bah, serta menghitung jam berapa
matahari itu memotong jalur menuju ka’bah.
Sedangkan dalam penentuan waktu sholat pada dasarnya
adalah menghitung tentang waktu ketika matahari berada di titik kulminasi atas
dan waktu ketika matahari berkedudukan pada prediksi pancer pada awal waktu-waktu sholat.
Penentuan awal bulan (Qamariyah) pada dasarnya adalah
menghitung kapan terjadinya ijtima’ (konjungsi), yakni di mana posisi
matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi serta menghitung posisi
Bulan tanggal satu ( hilal ) ketika matahari terbenam pada hari terjadinya
konjungsi tersebut.
Sedangkan dalam pokok bahasan penentuan gerhana adalah
menghitung waktu terjadinya kontak antara matahari dan bulan yakni kapan bulan
mulai menutupi matahari dan lepas darinya pada gerhana matahari, serta kapan
bulan mulai masuk pada umbra bayangan bumi serta keluar darinya pada gerhana
bulan.
Dengan melihat pokok bahasan dalam ilmu Falak tersebut,
kiranya tidak berlebihan manakala dikatakan bahwa keberadaan ilmu Falak menjadi
sangat urgen bagi umat Islam, karena sangat terkait dengan sah atau tidaknya ibadah yang terkait.
C. Dasar Hukum Ilmu Falak
Terkait dengan keberadaan urgensi
ilmu Falak tersebut di atas, kiranya bukan tanpa dasar. Secara umum dasar
hukumnya adalah :
1.
Al Qur’an, antara lain:
- Surat
ar Rahman: (55) ayat 5.
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ )الرحمن:۵(
Artinya : “Matahari dan Bulan
(beredar) menurut perhitungannya”.
(Q S. Ar Rahman: 55 ayat 5)
- Surat
Yunus: (10) ayat 5.
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ) يونس:۵(
Artinya : “Dialah yang menjadikan
Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi
perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan”. (QS.
Yunus:10 ayat 5)
- Surat
al-Baqarah: (2) ayat 189.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجّ ِ) البقرة: ۱٨٩(
Artinya : “Mereka bertanya
kepadamu tentang Bulan sabit, katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”. (QS. al Baqarah: 2 ayat 189)
d. Surat Yasin ayat: (36) ayat
38-40.
وَالشَّمْسُ
تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ وَالْقَمَرَ
قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ
كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ لَا الشَّمْسُ
يَنبَغِي
لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ
النَّهَارِ
وَكُلٌّ
فِي فَلَكٍ
يَسْبَحُونَ
)يس : ۳٨- ٤۰(
Artinya : “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah
ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.Dan telah Kami tetapkan bagi
bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang
terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.Tidaklah mungkin bagi
matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya” (Q.S Yasin: 36 ayat 38-40).
2.
Dalam hadits-hadits, antara lain :
a. Hadits riwayat
Ibn Sunni :
تعلموا من النجوم ما تهتدون به فى ظلمات
البر والبحر ثم
انتهوا (رواه ابن
السنى)
Artinya
: ”Pelajarilah keadaan bintang-bintang supaya kamu mendapat petunjuk dalam
kegelapan darat dan laut, lalu berhentilah” (HR Ibn Sunni)
b. Hadits riwayat Imam Tabrani :
ان خيارعباد الله الذين يراعون الشمس والقمر
لذكرالله
(رواه الطبرانى)
Artinya
: ”Sesungguhya hamba-hamba Allah yang baik adalah yang selalu memperhatikan
matahari dan Bulan, untuk mengingat Allah”
( HR Thabrani)
d.
Hadits riwayat
Imam Bukhari
حدثنا سعيد بن عمرو انه سمع ابن عمر رضي الله عنهما عن النبى صلى الله عليه وسلم انه فال انا امة امية لانكتب ولانحسب الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة ثسعة وعشرون ومرة ثلاثين )رواه البخارى(
Artinya:
“Dari Said bin Amr bahwasanya dia mendengar Ibn Umar ra dari Nabi saw beliau
bersabda : sungguh bahwa kami adalah umat yang Ummi tidak mampu menulis dan
menghitung umur Bulan adalah sekian dan sekian yaitu kadang 29 hari dan kadang
30 hari (HR Bukhari)
D.
Sejarah Ilmu Falak
1. Dalam Lintasan Sejarah Dunia
Merujuk pada penemu pertama ilmu hisab atau astronomi
yakni Nabi Idris[6]
sebagaimana disebutkan dalam setiap mukadimah kitab-kitab falak, nampak bahwa wacana ilmu Falak sudah ada
sejak waktu itu, atau bahkan lebih awal dari itu. Ini kiranya maklum, karena
suatu temuan baru biasanya merupakan suatu respon atau tanggapan dari sebuah
persoalan yang muncul dari masyarakat.
Sehingga kemunculan ilmu Falak dalam telusuran historis, kiranya dapat
diyakinkan kalau muncul sebelum temuan ilmu falak itu sendiri. Walaupun
demikian, penulis belum dapat melacak benang merahnya dalam upaya
menyambungkan historisitas pada
persoalan hisab rukyah sesudahnya.
Dalam lacakan penulis, baru sekitar abad ke-28 sebelum
masehi, embrio ilmu falak mulai nampak. Ia digunakan untuk menentukan waktu
bagi saat-saat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah nampak di
beberapa negara seperti di Mesir untuk menyembah Dewa Orisis, Isis dan Amon, di
Babilonia dan Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth dan Baal.[7]
Pada abad XX sebelum masehi, di negeri Tionghoa telah
ditemukan alat untuk mengetahui gerak Matahari dan benda-benda langit lainnya
dan mereka pulalah yang mula-mula dapat menentukan terjadinya gerhana Matahari. [8]
Kemudian berlanjut pada asumsi Pytagoras (580-500 SM) bahwa Bumi berbentuk
bulat bola, yang dilanjutkan Heraklitus dari Pontus (388-315 SM) yang
mengemukakan bahwa bumi berputar pada sumbunya, mercurius dan venus
mengelilingi matahari dan matahari mengelilingi bumi.[9]
Kemudian temuan dipertajam dengan penelitan Aristarchus dari Samos (310-230
SM) tentang hasil pengukuran jarak
antara Bumi dan Matahari, dan pernyataannya Bumi beredar mengelilingi Matahari.
Lalu Eratosthenes dari Mesir (276-196 SM) juga sudah dapat menghitung keliling
bumi.[10]
Oleh karena itu, penulis menduga bahwa sejak sebelum masehi ternyata sudah nampak adanya persoalan ilmu
Falak, walaupun dalam kemasan yang berbeda. Kemudian di masa sesudah masehi
ditandai dengan temuan Claudius Ptalomeus (140 M) berupa catatan-catatan
tentang bintang-bintang yang diberi nama
“Tabril Magesthi”. Berasumsi bahwa bentuk semesta alam adalah
geosentris, yakni pusat alam terletak pada Bumi yang tidak berputar pada
sumbunya dan dikelililingi oleh bulan, mercurius, venus, matahari, mars,
jupiter, dan saturnus. Asumsi tersebut dalam dunia astronomi disebut teori
Geosentris.[11]
Selanjutnya di masa Islam (masa Rasulullah) muncul ilmu
Falak memang belum masyhur di kalangan umat Islam, sebagaimana terekam dalam
hadits Nabi : “inna ummatun umiyyatun la naktubu wala nahsibu”.[12] Walaupun
sebenarnya ada juga di antara mereka yang mahir dalam perhitungan. Sehingga
realitas persoalan ilmu Falak pada masa itu tentunya sudah ada walaupun dari
sisi hisabnya tidak begitu masyhur.
Sebenarnya perhitungan tahun
Hijriyah pernah digunakan sendiri
oleh Nabi Muhammad ketika beliau menulis surat kepada kaum
Nasrani bani Najran, tertulis ke V
Hijriyah, namun di dunia Arab
lebih mengenal
peristiwa-peristiwa yang terjadi
sehingga ada istilah tahun gajah, tahun izin,
tahun amar dan tahun zilzal.[13]
Namun secara
formal, wacana ilmu hisab rukyah di
masa ini baru nampak dari adanya penetapan hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah
sebagai pondasi dasar kalender Hijriyah yang dilakukan oleh sahabat Umar bin
Khattab tepatnya pada tahun ke tujuh
belas Hijriyah[14] dan
dengan berbagai pertimbangan bulan Muharram ditetapkan sebagai awal bulan
Hijriyah.[15]
Dalam sejarah, kalau
kita tilik secara jeli ternyata di dunia astronomi khususnya, dan ilmu
pengetahuan pada umumnya, selama hampir delapan abad tidak nampak adanya masa
keemasan. Baru di masa Daulah Abbasiyahlah, masa kejayaan itu nampak.
Sebagaimana di masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ilmu astronomi mendapat
perhatian khusus, seperti upaya menterjemahkan kitab Sindihind dari India.[16]
Kemudian di masa khalifah al-Makmun, naskah “Tabril
Magesthy” diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Hunain bin Ishak. Dari
sinilah lahir istilah ilmu hisab rukyah sebagai salah satu dari cabang ilmu
keislaman dan tumbuhnya ilmu hisab tentang penentuan awal waktu shalat,
penentuan gerhana, awal bulan qomariyah dan penentuan arah kiblat.[17] Tokoh
yang hidup di masa ini adalah Sultan Ulugh Beik, Abu Raihan, Ibnu Syatir dan
Abu Manshur al-Balkhiy.[18]
Observatorium didirikan al-Makmun di Sinyar dan Junde Shahfur Bagdad, dengan
meninggalkan teori Yunani kuno dan membuat teori sendiri dalam menghitung
kulminasi Matahari. Dan juga menghasilkan data-data yang berpedoman pada buku
Shindihind yang disebut “Tables of Makmun” dan oleh orang Eropa dikenal
dengan “Astronomos” atau “Astronomy”.[19]
Masa kejayaan itu juga ditandai dengan adanya Al- Farghani
seorang ahli falak, yang oleh orang Barat dipanggil Farganus, buku-bukunya
diterjemahkan oleh orang Latin dengan nama “Compendium” yang dipakai pegangan dalam mempelajari ilmu
perbintangan oleh Astronom-astronom Barat seperti Regiomontanus.[20]
Kemudian Maslamah Ibnu al-Marjiti di Andalusia telah
merubah tahun Persi dengan tahun Hijriyah dengan meletakkan bintang-bintang
sesuai dengan awal tahun Hijriyah.[21] Di
samping juga ada pakar falak kenamaan lainnya seperti : Mirza Ulugh bin
Timurlank yang terkenal dengan Ephemerisnya, Ibnu Yunis (950-100 M), Nasiruddin
(1201-1274 M), Ulugh Beik (1344-1449 M) yang terkenal dengan landasan ijtima’
dalam penentuan awal Bulan qomariyyah.[22]
Di Bashrah, Abu Ali Al Hasan bin al Haytam (965-1039 M)
seorang pakar falak yang terkenal dengan bukunya “Kitabul Manadhir” dan
tahun 1572 diterjemahkan dengan nama “Optics” yang merupakan temuan baru
tentang refraksi (sinar bias). Tokoh-tokoh tersebut sangat mempengaruhi dan
memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan ilmu falak di dunia Islam
pada masanya masing-masing. Meskipun masih terkesan bernuansa Ptolomeus.[23]
Setelah umat Islam menampakkan kemajuan dalam ilmu pengetahuan, pada pertengahan abad ke
XIII M terjadi expansi intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol. Sedangkan
Eropa pada waktu itu tengah dilanda oleh tumbuhnya isme-isme baru seperti
Humanisme, Rasionalisme, dan Renaisance, sebagai reaksi dari filsafat
Scholastik di masa itu, di mana orang dilarang menggunakan rasio atau berfaham
kontradiksi dengan faham Gereja. Kemudian
muncul Nicolass Copernicus[24]
(1473-1543) yang berupaya membongkar teori Geosentris yang dikembangkan oleh
Claudius Ptalomeus. Teori yang dikembangkan adalah bukan Bumi yang dikelilingi
Matahari, tetapi sebaliknya, serta planet-planet beserta satelit-satelit
mengelilingi Matahari, yang kemudian dikenal dengan teori Heliosentris.
Perdebatan teori tersebut berkembang sampai abad XVIII, di mana penyelidikan
Galilleo Galilie dan John Kepler menyatakan pembenaran pada teori Heliosentris.
Walaupun John Kepler juga berbeda dengan Copernicus dalam hal lintasan planet
mengelilingi Matahari, di mana menurut Copernicus berbentuk bulat sedangkan
menurut John Kepler berbentuk ellips (bulat telur).[25]
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya banyak ditemukan temuan-temuan seputar
kosmografi.[26]
Namun dalam wacana historisitas ilmu hisab rukyah Islam, bahwa tokoh yang
pertama kali melakukan kritik tajam terhadap teori geosentris adalah al-Biruni
dengan asumsi tidak masuk akal karena langit yang begitu besar dan luas dengan
bintang-bintannya dinyatakan mengelilingi bumi sebagai pusat tata surya.[27] Dari
temuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa al-Birunilah peletak dasar teori
Heliosentris.
Fenomena di atas menimbulkan perselisihan di kalangan para peneliti modern tentang sejarah ilmu
pengetahuan. Mereka berselisih pendapat tentang orisinalitas kontribusi dan
peranan orang-orang Islam. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip Nurcholis
Madjid misalnya, cenderung meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di
bidang filsafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang
tinggi di bidang matematika[28],
termasuk di dalamnya astronomi.
Kembali pada temuan Ulugh Beik (1344-1449) yang berupa
jadwal Ulugh Beik, pada tahun 1650 M diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J.
Greaves dan Thyde, dan oleh Saddilet disalin dalam bahasa Prancis. Kemudian
Simon New Comb (1835-1909 M)[29]
berhasil membuat jadwal astronomi baru ketika beliau berkantor di Nautical Al
Manac Amerika (1857-1861), sehingga jadwalnya sampai sekarang terkenal dengan
nama Almanac Nautica.
Kedua jadwal itulah yang selama ini mewarnai tipologi ilmu
hisab rukyah di Indonesia. Di mana tipologi ilmu hisab rukyah klasik diwakili
oleh kitab Sullamun Nayyirain sebagaimana diakui sendiri oleh Mansur al-Batawi
dalam kitabnya, bahwa jadwal yang dipakai adalah bersumber pada data Ulugh
Beik.[30]
Sedangkan tipologi hisab modern, sebagaimana yang berkembang dalam wacana ilmu
hisab rukyah dan tehnik hisab, bahwa Almanac Nautica, diklasifikasikan
dalam tipologi hisab (hakiki) kontemporer.[31]
2. Dalam Lintasan Sejarah
Indonesia
Dalam lintasan sejarah, selama pertengahan pertama abad ke
dua puluh, peringkat kajian Islam yang paling tinggi hanya dapat dicapai di
Makkah, yang kemudian diganti di Kairo.[32]
Sehingga kajian Islam termasuk kajian
hisab rukyah tidak dapat lepas dari adanya “jaringan ulama” (meminjam
istilah Azyumardi Azra). Ini terbukti adanya “jaringan ulama” yang
dilakukan oleh ulama-ulama hisab rukyah Indonesia. Seperti Muhammad Manshur
al-Batawi, ternyata dalam lacakan sejarah
kitab monumentalnya Sullamun Nayyirain adalah hasil dari “rihlah
ilmiyyah” yang beliau lakukan selama di Jazirah Arab.[33]
Sehingga diakui atau tidak, pemikiran hisab rukyah di Jazirah Arab seperti di
Mesir, sangat berpengaruh dalam pemikiran
hisab rukyah di Indonesia. Begitu juga beberapa kitab hisab rukyah yang
berkembang di Indonesia menurut Taufik[34], banyak
merupakan hasil cangkokan dari kitab karya ulama Mesir yakni al-Mathla’
al-Said ala Rasdi al-Jadid.[35]
Sehingga dalam perjalanan sejarah hisab rukyah di Indonesia tidak bisa lepas
dari sejarah Islam di Indonesia yang memang merupakan hasil dari jaringan
ulama.
Dalam pemetaan sejarah Islam di Indonesia menurut Karel A.
Steenbrink, terpilah menjadi dua periode yang harus mendapat perhatian khusus,
yakni periode masuknya Islam di Indonesia dan periode zaman reformisme abad ke
dua puluhan.[36]
Sejarah mencatat bahwa sebelum kedatangan agama Islam di
Indonesia telah tumbuh perhitungan tahun yang ditempuh menurut kalender Jawa
Hindu atau tahun Soko yang dimulai pada hari Sabtu, 14 Maret 78 M yakni tahun
penobatan Prabu Syaliwohono (Aji Soko). Dan kalender inilah yang
digunakan umat budha di Bali guna mengatur kehidupan masyarakat dan agama.[37]
Namun sejak tahun 1043 H / 1633 M yang ketepatan 1555 tahun Soko, tahun Soko diasimilasikan
dengan Hijriyah, kalau pada mulanya
tahun Soko berdasarkan peredaran Matahari, oleh Sultan Agung diubah menjadi tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran
Bulan, sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun Soko tersebut.[38]
Sehingga jelas bahwa sejak zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran hisab rukyah, hal ini
ditandai dengan adanya penggunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi. Dan
patut dicatat dalam sejarah, bahwa prosesi tersebut berarti merupakan prosesi
penciptaan suatu masyarakat lama menjadi baru yakni masyarakat kehinduan dalam
masyarakat keislaman.
Setelah adanya penjajahan Belanda di Indonesia terjadi
pergeseran penggunaan kalender resmi pemerintahan, semula kalender Hijriyah
diubah menjadi kalender masehi (miladiyyah). Meskipun demikian, umat
Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah, terutama daerah kerajaan-kerajaan
Islam. Tindakan ini tidak dilarang oleh pemerintah kolonial bahkan penetapannya
diserahkan kepada penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada, terutama
penetapan terhadap hari-hari yang berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti 1
Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah.[39]
Sehingga jelas bahwa di samping adanya upaya membumikan
kalender Hijriyah dengan adanya
asimilasi, sebagaimana telah penulis
kemukakan di atas bahwa jaringan ulama, dalam hal ilmu falak memang
benar-benar ada. Prosesi tersebut nampak dengan adanya perkembangan yang pesat, sejak abad
pertengahan yang didasarkan pada sistem
serta tabel matahari dan bulan yang disusun oleh astronom Sultan Ulugh Beik Asmarakandi. Ilmu falak ini
berkembang dan tumbuh subur
terutama di pondok-pondok pesantren di Jawa dan Sumatera. Kitab-kitab ilmu
hisab yang dikembangkan para
ahli hisab di Indonesia
biasanya mabda’ (epoch) dan
markaznya disesuaikan dengan tempat tinggal pengarangnya. Seperti Nawawi
Mahammad Yunus al-Kadiri dengan karyanya “Risalatul Qamarain” dengan markaz Kediri.[40] Walaupun
ada juga yang tetap berpegang pada kitab asal (kitab induk) seperti al-Mathla’ul Said fi Hisabil Kawakib ala Rasydil Jadid karya Syeh
Husain Zaid al-Misra dengan markaz
Mesir.[41] Dan
sampai sekarang, hasanah (kitab-kitab) ilmu falak di Indonesia dapat dikatakan
relatif banyak, apalagi banyak pakar
falak sekarang yang menerbitkan
(menyusun) kitab falak dengan cara mencangkok kitab-kitab yang sudah
lama ada di masyarakat disamping adanya kecanggihan teknologi yang dikembangkan
oleh para pakar Astronomi dalam mengolah data-data kontemporer yang berkaitan
dengan hisab rukyah.[42]
Dengan melihat fenomena tersebut, Departemen Agama telah mengadakan pemilahan kitab dan
buku astronomi atas dasar keakuratannya yakni hisab hakiki taqribi, hisab hakiki tahkiki, dan hisab
hakiki kontemporer.[43] Namun nampaknya pemilahan tersebut belum
(tidak) diterima oleh semua kalangan, karena
masih ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa kitab karyanya adalah sudah akurat. Walaupun
menurut pemilahan Departemen Agama melihat
keakuratannya masih taqribi.[44]
Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa pada masa penjajahan
persoalan penentuan awal Bulan yang berkaitan dengan ibadah diserahkan pada
kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada. Kemudian setelah Indonesia merdeka, secara berangsur-angsur mulai
terjadi perubahan. Setelah terbentuk adanya Departemen Agama pada
tanggal 3 Januari 1946,[45]
persoalan–persoalan yang berkaitan
dengan hari libur (termasuk penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal dan
10 Dzulhijjah) diserahkan kepada Departemen Agama berdasarkan P.P. tahun 1946 No.2/Um.7/Um.9/Um jo
keputusan Presiden No. 25 tahun
1967, No. 148 tahun 1968 dan No.
10 tahun 1971.
Walaupun penetapan hari libur telah diserahkan pada
Departemen Agama namun dalam wilayah etis praktis saat ini masih
(terkadang) belum seragam, sebagai
dampak adanya perbedaan pemahaman antara beberapa pemahaman yang ada dalam
wacana hisab rukyah.[46]
Memperhatikan fenomena tersebut, nampak bahwa Departemen Agama berinisiatif untuk
mempertemukan perbedaan-perbedaan
tersebut. Sehingga dibentuklah Badan Hisab Rukyah Departemen Agama dengan tim perumus : Unsur Departemen Agama:
A Wasit Aulawi, H Zaini Ahmad Noeh dan Saaduddin Jambek, dari Lembaga
Metereologi dan Geofisika: Susanto, Planetarium dan Santosa Nitisastro.[47]
Berdasarkan keputusan Menteri Agama pada
tanggal 16 Agustus 1972, maka terbentuklah Badan Hisab
Rukyah Departemen Agama dengan
diketui oleh Saaduddin Djambek.[48] Sampai
sekarang, Badan tersebut masih ada
yang secara ex officio ketua dijabat Direktur Urusan Agama Islam Depag
Pusat setelah Badan Peradilan Agama bernaung dalam satu atap dengan Mahkamah
Agung .[49]
Pada dasarnya
kehadiran Badan Hisab rukyah untuk
menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyyah
khususnya dalam beribadah. Hanya
saja dalam dataran realistis praktis dan etika
praktis, masih belum terwujud. Hal ini dapat dilihat dengan seringkali terjadinya perbedaan berpuasa Ramadan
maupun berhari raya Idul Fitri.[50]
Melihat fenomena tersebut, penulis melihat bahwa
perhatian pemerintah dalam persoalan
hisab rukyah ini masih terkesan formalis belum membumi dan belum menyentuh pada akar penyatuan yang baik.
Sehingga wajar kiranya di masa
pemerintahan Gus Dur, sebagaimana
disampaikan Wahyu Widiana bahwa Badan Hisab Rukyah Departemen Agama akan dibubarkan dan persoalan hisab rukyah ini akan dikembalikan pada
masyarakat (umat Islam Indonesia).[51] Namun
demikian, nampak bahwa eksistensi Badan
Hisab Rukyah di
Indonesia ini memberikan warna tersendiri dalam dinamika penetapan awal Bulan Qamariyah di
Indonesia.
Kemudian
mengenai eksistensi kitab-kitab ilmu
hisab rukyah di Indonesia sampai saat
ini, nampak masih mewarnai diskursus hisab rukyah di
Indonesia. Hanya sayang, dalam
dataran belantara Islamic Studies, khususnya ilmu hisab rukyah nyaris terabaikan sebagai sebuah
disiplin. Bahkan ilmu falak hanya merupakan disiplin minor.[52] Sementara itu perkembangan
ilmu Astronomi di Indonesia sangat pesat
dan menggembirakan.[53] Ini nampak dari muncul banyak
pakar Astronomi, bahkan juga besar perhatiannya dalam
fiqh hisab rukyah, seperti
Prof DR.
Bambang Hidayat, Prof Ahmad
Baiquni, MSc, PhD, DR Djoni N
Dawanas, DR. Moedji Raharto dan DR Thomas Djamaluddin.
[1] Baca
Zubair Umar al-Jailany, Al-Khulashah Al-Wafiyah, Kudus: Menara Kudus,
t.t., hlm. 3-4. Bandingkan juga dengan Loewis Ma’luf, Al-Munjid, Mesir:
Dar al-Masyriq, cet. Ke-25, 1975, hlm. 132-133.
[2] Howard
R. Turner, Science in Medievel Islam,
An lllustrated Introduction,
Austin:: University of Texas Pers, 1997, hlm. 75.
[3] Menurut
Robert H. Baker, menurut objek pembahasan, ilmu Bumi dan Antariksa selain ilmu
Astronomi, terdapat ilmu Astrologi (ilmu nujum), ilmu Cosmogony, ilmu
Astrometry, ilmu Astrofisik, baca Robert H. Baker, Astronomy, D. Van
Nostrand Company, Inc. Toronta – London – New York, cet. Ke-4, 1953, hlm.1-2.
Lihat juga Francis D. Curtis and George Greisen Mallison, Science In Daily
Life, New York: Ginn and Company, 1953, hlm. 246.
[4] Objek
pembahasan dalam ilmu ini adalah, ilmu Bumi dan Antariksa selain ilmu
Astronomi, terdapat ilmu Astrologi (ilmu nujum), ilmu Cosmogony, ilmu
Astrometry, ilmu Astrofisik, Ibid., hlm. 1-2.
[6]
Sebagaimana disebutkan Zubaer Umar al-Jailany bahwa penemu pertama ilmu falak
atau ilmu astronomi adalah Nabi Idris dan diperkuat dengan pendapat Al-Susy
sebagaimana beliau nukil, op. cit., hlm. 5.
[7]
Thanthawy al-Jauhary, Tafsir al-Jawahir,
Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, juz VI, 1346 H, hlm. 16-17.
[8] Abdul
Latif Abu Wafa, Al-Falak al- Hadith, Mesir: al-Qatr, 1933, hlm. 3.
[9] Rudolf, There
Was Light, New York: Alfred A Knopt, 1957 , hlm. 85.
[10]
Marsito, Kosmografi Ilmu Bintang-bintang, Jakarta: Pembangunan, 1960,
hlm. 8. Lihat juga Enciclopedia Britanicca, Volume II, London: Chicago,
1768, hlm. 583.
[11] Robert H Baker, op. cit., hlm. 174.
[12]
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, Juz III,
1345 H, hlm. 34.
[13]
Dinamakan Tahun Gajah ketika kelahiran Nabi Muhammad terjadi penyerangan
pasukan bergajah. Disebut tahun Izin,
tahun diizinkannya hijrah ke Madinah. Disebut
tahun Amar, tahun
diperintahkannya diri dengan menggunakan senjata. Disebut Tahun Zilzal, karena
terjadi gonjang-ganjing pada tahun keempat hijriyyah. Baca Sofwan Jannan, Kalender
Hijriyah dan Masehi
150 tahun, Yogyakarta:
UII Press, 1994, hlm. 2-4.
[14]
Beliaulah shahabat Nabi yang paling berani dalam mengambil kebijakan-kebijakan
yang secara tekstual terkesan bertentangan dengan al-Qur’an namun secara
kontekstual terlihat sekali beliau lebih menekanklan pada maqasidus syari’ah.
Baca Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khatab, Bandung: Pustaka Pelajar,
1995 dan bandingkan dengan Fiqh Mausu’ah Umar.
[15]
Mengenai pertimbangan adanya bulan
Muharam sebagai awal bulan hijriyyah dapat dibaca secara tuntas
dalam Sofwan Jannah, op. cit.,
hlm. 2-6.
[16] Muh.
Farid Wajdi, Dairatul Ma’arif, Mesir, Juz VII, cet, ke-2, 1342 H, hlm.
485.
[17] Ibid.
[18] Studi
tokoh-tokok tersebut dapat dibaca dalam M. Nathir Arsyad, Ilmuwan Muslim
Sepanjang Sejarah, cet, ke-4, Bandung: Mizan, 1995. Lihat juga Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, terj. Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya:
Risalah Gusti, cet, ke-1, 1996, hlm. 203-233.
[19] Ibid.
[20] Umar
Amin Husen, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 99.
[21] Abdul
Latif Abu Wafa, op. cit., hlm. 203.
[22] Jamil
Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,
cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, hlm. 166-170. Bandingkan juga
Enciclopedia Britannica, op. cit., hlm. 584 dan bandingkan M.
Nasir Arsyad, Loc. cit.
[23]
Penjelasan selengkapnya lihat John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of
the Modern Islamic, New York : Oxford Unversity Press, 1995, hlm. 145-147,
dan Liha Umar Amin Husen, op. cit., hlm. 59.
[24] Nicolas
Copernicus adalah seorang berkebangsaan Jerman, yang bekerja di gereja, ahli
hukum, kedokteran, ahli ilmu perbintangan. Dia melontarkan pendapatnya teori
Heliosentris dalam enam jilid buku yang diberi nama “Nicolai Copernicie
Torinensis de Revolusionibus Orbium Coelestium Libri VI”, baca M S L
Toruan, Kosmografi, cet. ke-7, Semarang: Banteng Timur, 1953, hlm. 7.
[25] Robert
H. Baker, op. cit., hlm. 180-182, dan Lihat H. G. Den Hollander, Beknopt
Leerboekje der Cosmografie, terj. I Made Sugita, Jakarta: J. B. Wolters
Groningen, 1951, hlm. 81-83.
[26] Kalau
kita merujuk pada rentetan temuan sejarah, Issac Newton (1645-1727) menemukan
hukum dinamika, Bradleymon (1726) bahwa bumi tidaklah diam tapi bergerak
terbukti adanya aberasi, Titius daan Bode (1766) menemukan jarak antara Planet
dengan matahari, Bessal (1837-1838) temukan parallax pada bintang-bintang, dan
masih banyak lagi, secara utuh. Ibid., hlm. 180-190 dan lihat juga M
Solihan dan Subhan, Rukyah dengan Tehnologi, Jakarta: Gema Insani Press,
1994, hlm. 18-20.
[27] Ahmad
Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi, cet. Ke-4,
Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1996, hlm. 9.
[28] Baca
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, cet. Ke-1, 1992, hlm. 135-136. Lihat juga Azyumardi Azra, Esei-Esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet.
Ke-1, 1998, hlm. 58-60. Lihat juga S.H. Nasr, Science and Civilization in
Islam, Cambridge: The Islamic Texts Society, 1985, hlm. 81.
[29] Seorang
sarjana Astronomi Amerika, yang mendapat gelar Profesor dalam bidang Astronomi
dan Matematika. Baca Enciclopedia Britaniea, op. cit., vol. 13 hlm. 978,
dan vol. 16 hlm. 283.
[30]
Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri al-Batawi, Sullam
al-Nayyirain, Jakarta, t.th, hlm. 3, dan 8. Lihat juga A. Izzuddin, Analisis
Kritis Hisab Awal bulan Qomariyyah dalam
Kitab Sulam Nayyirain (skripsi), Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang, 1997.
[31] Merujuk
pada pembagian sistem hisab yang berkembang di Indonesia yakni hisab hakiki
taqribi, hisab hakiki tahkiki dan hisab hakiki kontemporer, sebagaimana hasil
seminar nasional sehari Hisab Rukyah pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor
Jawa Barat.
[32]
Selengkapnya baca Mark R.Woodward, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, cet. Ke-1,
1998
[33] Ulasan
tentang rihlah ilmiyyah yang dilakukannya dapat dibaca dalam Biografi
Muhammad Manshur al-Batawi, yang diterbitkan oleh Yayasan al-Manshuriyyah
Jakarta Timur. Dimana Muhammad Manshur dalam lacakan sejarah pernah berguru
pada Syeh Abdurrahman bin Ahmad al-Misra Sedangkan mengenai adanya “jaringan
ulama’” dapat dibaca dalam Ahmad Izzuddin, Loc. cit.
[34] Taufik
adalah pakar falak Indonesia, pernah
menjabat sebagai Direktur Badan Hisab Rukyah Indonesia, dan sekarang (dalam pemerintahan Gus Dur) menjabat sebagai
wakil ketua Mahkamah Agung.
[35] Menurut
Taufik, kitab Khulashatul Wafiah karya Zubair Umar Jailany, Hisab
Hakiki karya K. Wardan Diponingrat, Badiatul
Mitsal karya Ma’shum Jombang dan almanak Menara Kudus karya
Turaikhan Ajhuri, merupakan kitab cangkokan dari kitab Mathla’ al-Said
ala Rasdi al-Jadid, baca Taufik, Mengkaji Ulang Metode Hisab Rukyah Sullam
al-Nayyiraini, makalah disampaikan pada pertemuan tokoh Agama Islam /
Orientasi Peningkatan Pelaksanaan Kegiatan Hisab Rukyah PTA Jawa Timur pada
tanggal 9-10 Agustus 1997, di hotel Utami Surabaya, hlm. 1.
[36] Karel
A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19,
Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-1, 1984, hlm. 3.
[37] Secara
lengkap tentang kalender Aji Soko, baca Covarrubias Miguel, Island of Bali,
New York: Alfred A. Knopt, 1947, hlm. 282-284. Bandingkan juga H. G Den Hollander, op. cit., hlm.
90-92.
[38]
Penggagasan dan pencetus pertama,
penanggalan ini gabungan tersebut
yang selanjutnya dikenal dengan kalender Jawa (Islam) ialah Sri Sultan
Muhammad Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (raja kerajaan Mataram II 1613 –
1645), lihat Muhammad Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki, Yogyakarta, cet.
Ke-1, 1957, hlm. 12. Bandingkan juga dalam Marsito, Kosmografi, Jakarta:
Pembangunan, 1960, hlm. 75.
[39]
Fenomena ini dapat di lihat secara utuh
dalam Ichtijanto, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Badan Hisab Rukyah
Depag RI, 1981, hlm. 22.
[40] Seperti
juga Sullamun Nayyirain karya Muhammad Mansur dengan markaz Jakarta, Jadawil
Falakiyyah karya Qusyairi dengan markas Pasuruan, baca Sriyatin Sadik, Perkembangan Hisab Rukyah dan penetapan
awal bulan qomariyyah, dalam Menuju Kesatuan Hari
raya, Surabaya: Bina Ilmu, 1995, hlm. 64-66.
[41] al-Khulasatul
Wafiyah karya Zubaer Umar al-Jailany dengan markaz Mesir, al-Hamihijul
Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy dengan markaz Mesir, dan masih
banyak lagi, Ibid., hlm. 67-68.
[42]
Sebagaimana komentar Slamet Hambali dalam menanggapi perkembangan hasanah kitab
hisab di Indonesia, seperti kitab karya
Noor Ahmad SS (yakni Syamsul Hilal dan Nurul Anwar) yang merupakan
cangkokan dari kitab
al-Khulashatul Wafiyah.
[43]
Pemilahan tersebut muncul dalam forum
Seminar Sehari Hisab Rukyah tgl 27 April
1992 di Tugu Bogor yang diselenggarakan oleh Departemen Agama., Sriyatin Sadik, op.cit., hlm. 68.
[44]
Sebagaimana asumsi-asumsi pengikut setia
kitab Sullamun Nayyirain. Padahal dalam pelacakan teori yang digunakan adalah
menggunakan teori geosentris
oleh Ptolomeus yang telah
ditumbangkan oleh teori Heliosentris
yang ditemukan oleh Copernicus. Assumsi tersebut diikuti oleh Lajnah Falakiyyah Pondok
Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri, dimana
penulis sendiri pernah menyelami pendidikan hisab Sulamun
Nayyiraini dan seperti sebagian besar umat Islam di Jakarta Timur dan
Selatan, khususnya daerah pondok al-Mansyuriyyah.
[45]
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam
Indonesia, Jakarta: Djambatan, cet. Ke-1, 1992, hlm. 211.
[46]Dimana
hampir setiap organisasi masyarakat termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah
selalu juga mengeluarkan “ketetapannya” walaupun dalam kemasan bahasa yang lain seperti fatwa dan ikhbar.
Baca Susiknan Azhari, Saaduddin Djambek (1911-1977) Dalam Sejarah Pemikiran Hisab di Indonesia, Yoogyakarta: IAIN
Yogyakarta, 1999, hlm. 15.
[47]
Ichtujanto, op. cit., hlm. 23.
[48] Hamdany
Ali, Himpunan Keputusan Menteri Agama, Jakarta: Lembaga Lektur Keagamaan, cet. Ke-1, 1972, hlm. 241.
[49] Namun
dalam dataran praktis realistis,
ternyata pembentukan Badan sangat tergantung pada kebijakan daerah dalam hal
ini propinsi terkait. Sebagaimana pengalaman pribadi penulis ketika
bersama-sama Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah (Drs. Imron SH sekarang hakim tinggi di
PTA Jawa Timur) sangat tergantung
pada gubernur Jawa Tengah pada waktu itu (Soewardi).
[50] Sebagai
contoh Hari Raya 1405 bertepatan tahun 1985, sebagian kaum muslimin berhari
raya pada hari Rabu 19 Juni 1985 dan ada yang berhari raya Kamis, 20 Juni 1985
dan masih banyak lagi kasus-kasus
perbedaan semacam itu. Baca Nourouzzaman Shidiqi, Fiqh Indonesia Penggagas
dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-1, 1997, hlm. 201.
[51] Wahyu
Widiana menyampaikan hal tersebut ketika menjadi Key Note Speech dalam
acara Work Shop Nasional "Mengkaji Ulang Metode Penetapan Awal Waktu
Shalat" yang diselenggarakan UII
Yogyakarta, 7 April 2001. Dan bandingkan pernyatakan Syukri Ghozali: “Mengharap
kepada Badan Hisab Rukyah Departemen Agama agar memperhatikan mesyarakat Islam
Indonesia. Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari berbagai pendapat, maka usaha
untuk mempersatukan pendapat akan mengalami kegagaalan”. A Wasit Aulawi, Laporan Musyawarah
Nasional Hisab dan Rukyah 1977, Jakarta: Ditbinpera, 1977, hlm.
4.
[52] Dimana
pada masa Dirjen Depag RI, Andi Rosydianah, kebijakan-kebijakan sangat
menghambat perkembangan fiqh hisab rukyah, misalnya dikeluarkannya mata kuliah
ilmu falak dari kurikulum nasional, baca
Susiknan Azhari, Revitalisasi Studi Hisab Rukyah di Indonesia, dalam
al-Jami’ah Pasca IAIN Yogyakarta, no.
65/VI/2000, hlm. 108. Bandingkan pula Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. Ke-1, 1999, hlm.
203, dan bandingkan juga Depag RI, Himpunan Keputusan Musayawarah Hisab Rukyah dari berbagai Sistem Tahun 1990-1997,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, cet. Ke-1,
1999-2000, hlm. 97.
[53] Lihat
Bambang Hidayat, Under a Tropical Sky: A History of Astronomy in Indonesia,
dalam Journal Of Astronomical History And Heritage, June 2000, hlm. 45-58.
0 comments:
Post a Comment
Kritik dan saran untuk kebaikan dan penyempurnaan